Kamis, 17 Januari 2008

Cerita dari Belantara Kalimantan (1)

"Cerita ini diolah dari sms yang disampaikan kepada penulis oleh Siti "Erin" Ariyani, istri dr. Donny Jandiana, Sp T, Kepala Klinik Tulang RSUD Pasar Rebo, Jakarta Timur. Erin itu sahabatku dan kami sama-sama alumnus SMA Negeri 8 Jakarta.
Penulis berharap kumpulan cerita ada yang bersedia menerbitkan. Atau, jikalau tak ada, menunggu rejeki untuk menerbitkan swadaya. Cerita romantisme anak manusia yang berjuang hidup dan dalam kehidupan perlu pula diketahui oleh banyak orang selagi banyak orang pula yang hidup dalam hedonisme. "

Lelaki Setengah Baya dan Sebuah Bungkusan

Suatu sore ketika aku sedang menyapu halaman rumah dinas yang sekaligus tempat praktek suamiku selepas berdinas di puskesmas, seorang laki-laki yang kutebak usianya setengah baya mendatangiku. Tak tampak tanda kesakitan di raut muka maupun badannya.

"Ibu. Ada dokter di rumah?" Ujarnya setengah menghardik.
"Bapak Dokter tidak ada. Ada perlu apa?" Jawabku.
Suamiku memang belum pulang dari dinas ke kota saat itu. Jadi aku katakan, "Tidak ada Bapak. Ada perlu apa?"
"Sudah sebulan ini kaki istriku tak lagi bisa berjalan," katanya sembari menyodorkan bungkusan daun pisang.
"Apa ini Bapak?" Tanyaku sembari menolak bungkusan yang diberikan padaku. Tiba-tiba saja laki-laki setengah baya itu membuka bungkusan yang dibawanya. Aku benar-benar mau muntah melihat isi bungkusan itu. Ada campuran darah, nanah, dan sepotong koreng di dalamnya.
"Tolong kasih ini pada Bapak Dokter, Ibu" pinta laki-laki itu. Aku menolak bungkusan itu dan memrotes, "Untuk apa Bapak?"
"Untuk diperiksa Bapak Dokter," katanya enteng. "Kalau Bapak mau diperiksa, tunggu saja Bapak Dokter. Koreng ini untuk apa?" kataku.
"Tidak bisa Ibu. Ini koreng istri saya. Dia ada di rumah tidak bisa berjalan ke sini," katanya beralasan.
"Lha yang sakit istri Bapak kenapa koreng ini yang dibaw ke Dokter," aku mencari alasan menolak bungkusan itu.
Kalau aku terima pun, untuk apa bungkusan koreng itu. "Begini Bapak," kataku tegas, "kalau istri Bapak mau diobati sebaiknya dibawa ke sini." tegasku.
"Tidak bisa!" Katanya. Aku jadi tambah panik dengan hardikan laki-laki ini. "Biar titip saja bungkusan ini. Kasihkan ke Bapak Dokter," katanya sembari melenggang.
"Apa kata suamiku nanti," tanyaku dalam hati. Aku onggokkan bungkusan koreng itu di dekat meja kerja suamiku.

(bersambung)